Saya sarikan dari kitab Fathul Mu’in karya Zainuddin al Malibari, dan beberapa kitab lain. Mohon masukan jika ada kekurangan.
Denah Makkah ada di sini. Dan mohon doa-nya agar bisa secepatnya menyusul naik haji. amien.
Rukun Haji Ada 6 :
1. Ihram Haji, yaitu niat mulai masuk ibadah Haji, sebagai berdasarkan Hadits : “Bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan bemiat”.
Mengucapkan niat dan Talbiyah tidak wajib, tapi sunnah. Maka berkatalah di dalam hati dan lisannya
“Saya niat Haji dan Ihram Haji karena Allah swt, ku sambut panggilan-Mu …………” sampai akhimya.
2. Wuquf di Arafah, yaitu menghadiri walaupun hanya
sejenak di sudut mana saja padang Arafah, sambil tidur atau lewat. Ini
berdasar Hadiis riwayat At-Turmudziy : “Haji adalah Arafah.” Waktu
pelaksanaan wuquf adalah di antara zawal matahari Arafah tanggal 9 DzulHijjah sampai terbit fajar hari Nahar (10 Dzul Hijjah).
Masjid Ibrahim dan Padang Namirah tidak masuk daerah wuquf Arafah.
Bagi kaum lelaki, Yang lebih afdlal adalah berkesungguhan memilih
tempat wuquf Rasulullah saw, yaitu pada batu-batu besar yang telah
sama-sama kita kenal (di lembah gunung Rahmah).
Tempat ini disebut Arafah, suatu pendapat menyebutkan karena di sinilah Adam dan Hawa berta’aruf.
Pendapat lain mengemukakan bukan begitu.
3. Thawaf Ifadlah, waktunya dimulai tengah malam hari Nahar (tgl. 10 Dzulhijjah);
Syarat-syarat Thawaf ada 6 :
a. Suci daripada hadats dan najis.
b. Tertutup aurat bagi yang kuasa menutupinya. Bila di tengah-tengah
thawaf itu hilang (salah satu atau) dua syarat ini, maka menyempurnakan
kembali dan boleh meneruskan thawafnya, sekalipun hal itu disengaja dan
telah lama berselang.
c. Niat thawaf, untuk yang dikerjakan sebagai ibadah berdiri sendiri
bukan termasuk rangkaian rukun Nusuk, sebagaimana kewajiban niat pada
ibadah-ibadah yang lain; Kalau bukan sebagai berdiri sendiri, niat
hukumnya sunnah.
d. Memulai thawaf dari Hajar Aswad dengan posisi belahan kiri badan
bersejajaran dengan dia waktu berjalan (mengelilingi Ka’bah).
Cara mensejajarkannya adalah berdiri di samping Hajar Aswad pada
titik lintasan garis lurus dengan rukun Yamaniy sekira seluruh bagian
Hajar Aswad itu berada di sebelah kanannya, kemudian niat thawaf lalu
bedalan (ke arah kanan) dengan menghadap Hajar Aswad sampai dia habis
dari hadapan; Dalam posisi ini kemudian “hadap kanan” dan menjadilah
Ka’bah berada di sebelah kirinya; Tidak boleh menghadap Ka’bah (dalam
thawaf) kecuali waktu awal thawaf ini.
e. Membuat posisi sehingga Ka’bah berada di sebelah kirinya. Maka
wajib seluruh badan termasuk tangan kirinya berada di luar Syadzirwan
dan Hijir Isma’il -sebagai ittiba’ Rasul;
Jika tidak memakai cara-cara di atas, maka thawafnya tidak shah.
Apabila sedang menghadap Ka’bah untuk misalnya berdo’a, maka hendaknya
memperhatikan agar jangan sampai berjalan dahulu sekalipun sedikit
sebelum kembali pada posisi Ka’bah di sebelah kirinya.
Wajib bagi orang yang mencium Hajar Aswad untuk membuat telapak
kakinya tetap pada tempat semula sehingga berdiri tegak, karena di waktu
menciumnya itu kepalanya masuk ke daerah bagian Ka’bah.
f. Thawaf dilakukan pada 7 kali putaran secara yakin, sekalipun pada
waktu makruh; Kalau kurang walaupun hanya sedikit, maka thawafnya belum
mencukupi.
4. Sa’i, yaitu lari-lari kecil dari Shafa sampai ke Marwah berputar 7 kali secara yakin.
Apabila perputarannya kurang dari 7 kali, maka sa’i belum cukup Dan
bila meragukan hitungan bilangan sebelum selesai, maka mempedomani yang
lebih sedikit, karena inilah yang diyakini kebenarannya.
Untuk sa’i, wajib memulai hitungan putaran pertama kalinya dari Shafa
dan berakhir di Marwah, sebagai ittiba’ Rasulullah saw. Jikalau memulai
dari Marwah, maka perjalanannya sampai Shafa tidak terhitung, dan
barulah sekembalinya dari Shafa ke Marwah bisa dihitung satu kali, dan
dari Marwah ke Shafa putaran yang ke duanya.
5. Memotong rambut kepala, baik mencukur sampai pendek (habis) maupun hanya memotong sedikit, karena berada di sinilah letak Tahallul.
Paling tidak, cukuplah melakukannya pada 3 helai rambut; Tentang
Rasulullah saw mencukur seluruh rambut kepala beliau, adalah untuk
menerangkan yang lebih afdlal. Lain halnya menurut orang yang
memeganginya sebagai dasar kewajiban mencukur seluruh rambut kepala-;
Bagi kaum wanita memotong sebagian adalah lebih utama daripada mencukurnya sampai pendek.
Kemudian memasuki Makkah setelah melempar Jumrah Aqabah dan potong
rambut, lalu melakukan thawaf rukun (thawaf ifadlah), kemudian sa’i jika
belum, dilakukan setelah thawaf qudum sebagaimana yang afdlal itu.
Potong rambut, thawaf dan sa’i adalah tidak ada batas akhir waktunya; Namun makruh mengakhirkannya sampai lewat tanggal 10 Dzul Hijjah, dan lebih makruh lagi sampai setelah hari Tasyriq (11 – 13 DzulHijjah), dan lebih-lebih setelah ke luar dari Makkah.
6. Tertib, yaitu ihram didahulukan daripada
rukun-rukun yang lain, wukuf daripada thawaf ifadlah dan memotong
rambut; dan thawaf ifadlah daripada sa’i, jika belum dilakukan setelah
thawaf qudum;
Dasarnya sebagai ittiba’ Rasulullah saw.
Rukun-rukun tersebut tidak bisa diganti dengan Dam (denda);
Enam rukun Haji di atas, selain wuquf di Arafah, adalah juga rukun
Umrah, karena pencakupan pada dalil-dalilnya. Dan jelas, potong rambut
rukun Umrah wajib diakhirkan dari pada sa’i; serta wajib tertib untuk
semua rukun-rukun Umrah.
.
Wajib Haji ada 5
Wajib yang dimaksudkan di sini adalah suatu perbuatan yang bila
tertinggal, maka wajib membayar fidyah (sedang Haji-nya tetap syah).
1. lhram dari Miqat (batas tempat mulai Ihram). Bagi penduduk Makkah, miqat Hajinya dari tempatnya sendiri;
Miqat Haji dan Umrah bagi pendatang dari arah Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dinamakan Bi’ru Aliy. Dari Syam, Mesir dan daerah-daerah Maghrib (daerah sebelah Barat) adalah di Juhfah; Dari Tihamatul Yaman adalah Yalamlam dan dari Hijaz adalah Qamu; Dari arah daerah-daerah Timur, miqatnya di Dzati irqin.
Miqat Umrah bagi orang yang ada di tanah Haram adalah dari daerah
Halal; Tempat yang paling afdlal ialah Ji’ranah, kemudian Tan’im barulah
Hudaibiyah.
Miqat untuk para pendatang yang tidak melewati jalanan miqat-miqat di
atas, adalah dari tempat-tempat yang sejajar dengan miqat-miqat
tersebut bila terdapat pesejajarannya di darat maupun di laut; Kalau
tidak terdapat, maka dari jarak 2 Marhalah dari Makkah.
Maka pendatang lewat laut dari arah Yaman, miqatnya dari Syi’bil
Muharram yang bersejajaran dengan Yalamlam; Ia tidak boleh menunda Ihram
hingga masuk Jeddah; Lain halnya menurut fatwa Guru kita yang
memperbolehkan penundaan tersebut, dengan alasan bahwa jarak Jeddah ke
Makkah sama dengan yalamlam sampai Makkah.
Apabila baru mulai Ihram setelah lewat miqatnya sekalipun karena lupa
atau tidak mengetahui, maka wajib membayar Dam selama tidak
mengulanginya kembali dari miqat yang bersangkutan sebelum tersela-selai
dengan Nusuk sekalipun berupa Thawaf eudum. Dan berdosa bila hal itu
dilakukan oleh selain orang lupa atau tidak mengetahui.
2. Bermalam hari di Muzdalifah sekalipun hanya sejenak, waktunya dimulai setelah tengah malam tanggal 10 Dzul Hijjah.
3. Bermalam hari di Mina pada lebih separoh
malam-malam Tasyriq; Memang, jika telah berangkat (ke Makkah) sebelum
tenggelam matahari tanggal 12 Dzulhijjah, maka telah cukup dan gugurlah
kewajiban bermalam hari di Mina tanggal 13 nya serta melontar Jumrah di
siang harinya. Hanya sanya kewajiban bermalam di Mina tersebut adalah
bagi selain para penggembala dan para petugas air minum.-
4. Melempar Jumrah Aqadah 7 kali setelah habis tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, dan juga melontar 3 Jumrah masing-masing 7 kali setelah zawal di setiap hari Tasyriq
dengan tertib di antara 3 Jumrah tersebut (Jumrah Ula lalu Jumrah
Wustha lalu Aqabah). Pelontaran tersebut dilakukan memakai apa saja yang
disebut batu, sekalipun batu akik atau permata balur.
Apabila pada suatu hari tidak me lakukan pelontaran Jumrah (sedangkan
belum berangkat ke Makkah), maka wajib menambalnya pada hari-hari
Tasyriq berikutnya; Kalau tidak, maka wajib membayar Dam sebab telah
meninggalkan melontar 3 Jamrah atau bahkan lebih.
5. Thawaf Wada’ bagi selain orang haidl dan orang
Makkah yang tidak akan ke luar Makkah seusai Hajinya. Ini adalah thawaf
sebagai ucapan selamat tinggal, karena akan meninggalkan Makkah. Di
dalam kitab at Taqrib karya imam Abu Syuja’ Thawaf Wada’ ini dimasukkan
ke dalam sunnah haji, namun di dalam syarahnya (judul terjemah: Fikih
Islam Lengkap, Dr. Musthafa D Al-Bugha) disebutkan bahwa menurut
pendapat yang paling jelas, hukum Thawaf Wada’ adalah wajib haji. Di
sini kitab Fathul Mu’in memasukkannya sebagai wajib haji.
6. Meninggalkan larangan haji. Larangan-larangan haji disebutkan di bagian bawah.
Kewajiban-kewajiban Haji ini bisa ditambal dengan Dam; Kewajiban ini disebut juga dengan Sunnah Ab’adl.
.
Sunnah-sunnah Haji :
Sunnah melakukan Haji Ifrad.
Haji dan Umrah bisa ditunaikan dengan tiga cara : Ifrad, yaitu Haji terlebih dahulu dan setelah sempurna baru Umrah; Tamattu’, yaitu Umrah dahulu dan setelah sempurna baru Haji; Qiran, yaitu Ihram sekaligus untuk Haji dan Umrah.
Yang paling afdlal adalah Haji Ifrad jika Umrahnya dilakukan sebelum musim Haji berikutnya, kemudian sistim Tamattu’;
Bagi yang melakukan Tamattu’ dan Qiran terkena kewajiban membayar Dam, jika bukan penduduk Makkah serta tempatnya kurang dari jarak 2 Marhalah dari sana.
Mandi atau Tayammum-(jika tak bisa mandi)-untuk ihram dan juga untuk memasuki Makkah, sekalipun belum mulai ihram, di Dzi Thuwa;
Sunnah bermalam hari di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Sunnah mandi wuquf Arafah pada sore harinya, mandi wuquf Muzdalifah dan mandi melempar
Jumrah pada setiap hari Tasyriq.
Sunnah wuquf dalam waktu yang mencakup siang dan malam hari. Kalau tidak bisa, maka disunnahkan memberikan Dam Tamattu’.
Sunnah melakukan wuquf di Jama’, yaitu yang sekarang dinamakan dengan
Masy’aril Haram; Ialah bukit di tepi daerah Muzdalifah; Maka di waktu
wuquf ini hendaklah berdzikir dan berdo’a dengan menghadap Qiblat hingga
malam hampir terang kembali, sebagai ittiba’ Rasulullah.
Sunnah memakai harum-haruman pada badan dan pakaian –sekalipun memakai benda padat pengharum yang diiakukan menjelang ihram
setelah mandi sunnahnya; Dan tidak mengapalah jika harum-haruman
tersebut masih ada hingga selesai ihram, atau mengikuti keringat
mengalir.
Sunnah membaca Talbiyah, yaitu “Labbaika ……… dst.” (Yaa Allah,
benar-benar kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kusambut
panggilan-Mu, sesungguhnya pujian, kenikmatan dan kerajaan adalah
bagi-Mu jua tiada penyekutu bagi-Mu); Makna “ku sambut panggilan-Mu”
adalah kami bersedia taat kepada-Mu.
Sunnah banyak-banyak membaca Talbiyah; Shalawat Nabi, mohon surga dan
berlindung dari neraka setiap habis mengulangi Talbiyah 3 kali.
Kesunnahan Talbiyah berjalan terus sampai waktu melontar Jumrah
Aqabah, tapi tidak sunnah dibaca sewaktu thawaf qudum dan sa’i yang
dilakukan sesudahnya karena telah ada dzikir-dzikir khusus yang dibaca
di sini.
Sunnah mengawali thawafnya dengan menjamah Hajar Aswad memakai
tangan, menjamahnya setiap kali putaran terlebih-lebih pada putaran
gasal, mencium Hajar Aswad dan meletakkan kening padanya.
Ketika thawaf, sunnah menjamah rukun Yamaniy memakai tangan lalu tangan itu diciumnya.
Sunnah bagi kaum lelaki pada tiga putaran yang pertama dalam thawaf
yang dilakukan sebelum sa’i, berjalan ramal yaitu mempercepat dan
memperpendek langkah-langkahnya; Dan 4 putaran berikutnya sunnah
berjalan seperti biasanya; sebagai ittiba’ Rasulullah saw.
Sunnah bagi kaum lelaki mengambil tempat thawaf yang lebih mendekati
Ka’bah, selama tidak mengganggu orang lain atau terasa sulit lantaran
berjejalan manusia; Apa bila bersilangan antara mendekati Ka’bah dengan
berjalan ramal tapi tidak mendekatinya, maka dilakukan yang pertama
(mendekati Ka’bah), sebab sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu
sendiri adalah lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempatnya.
Sunnah pada putaran-putaran thawaf dan sa’i yang dilakukan dengan
ramal (lari-lari kecil) bagi kaum lelaki memakai selendangnya dengan
cara bagian tengah diletakkan di bawah pundak kanan dan dua ujungnya di
atas pundak kiri, sebagai ittiba’ Rasul.
Sunnah bagi lelaki maupun wanita yang masuk ke dalam Masjidil Haram
untuk terlebih dahulu melakukan thawaf, sebagai ittiba’ Hadits Rasul
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim; Kecuali bila berbepatan
dengan jama’ah shalat fardlu atau khawatir kehabisan waktu shalat fardlu
atau shalat Rawatib Muakkad, maka supaya mendahulukan shalat-shalat
tersebut bukan thawafnya.
Sunnah mengerjakan shalat dua rakaat setelah thawaf di belakang Maqam Mustajab, kemudian pada Hijir Isma’il.
Sunnah Thawaf Qudum, karena berlaku sebagai penghormatan terhadap
Baitullah; Hanya sanya sunnah dilakukan oleh orang Haji atau Qiran yang
datang ke Makkah sebelum menunaikan wuquf; Kesunnahannya tidak hilang
lantaran telah duduk dalam masjid atau diakhirkan pelaksanaannya; Tapi
kesunnahan hilang lantaran telah wuquf di Arafah.
Untuk Sa’i, sunnah bagi kaum lelaki mendaki ke atas bukit Shafa
setinggi orang berdiri; Berjalan biasa pada batas dua tepi tempat sa’i
dan lari-lari kecil di tengahnya, sebagaimana pada tempat yang telah
sama-sama kita kenal.
Sunnah membaca dzikir dan do’a-do’a tertentu yang dibaca pada waktu
dan tempat tertentu pula; Do’a dan dzikir ini telah tersusun secukupnya
dalam karangan As-Suyuthiy, Wadhoifil Yaumi Wai Lailati, silahkan
dicari.
.
Larangan-larangan Haji
Diharamkan bagi lelaki dan wanita sedang ihram beberapa hal :
Persetubuhan, berdasarkan Surat Al-Baqarah Ayat 197 “. . maka tidak
boleh melakukan rafats . . . “, kata “rafats” di sini ditafsirkan dengan
persetubuhan; Lantaran melanggar rafats ini, maka Haji dan Umrah
menjadi rusak (batal).
Haram mencium dan persentuhan sesama kulit dengan bersyahwat. Haram
melakukan onani dengan tangan; Lain halnya inzal yang disebabkan oleh
pandangan mata atau lamunan.
Haram aqad nikah, sebagai berdasarkan Hadits riwayat Muslim “Orang tengah berihram tidak boleh menikah atau menikahkan.
Haram memakai harum-haruman pada badan atau pakaian dengan semisal
minyak misik atau ambar atau kapur harum orang hidup atau mati, bunga
atau air mawar, walaupun hanya dengan mengikatkan misik di ujung pakaian
atau meletakkannya di dalam saku apabila baunya hanya lemah, misalnya
bunga Kadzi atau buah Inai, Jikalau terkena air baunya menjadi semerbak
maka haram; Kalau tidak, maka tidak diharamkan.
Haram mengenakan minyak rambut kepala atau jenggot, sekali pun
minyaknya tidak harum seperti misalnya minyak Zaitun atau minyak Samin.
Haram menanggalkan rambut kepala ataujenggot ataubulu badan sekalipun
cuma satu helai; Memang, jika diperlukan potong rambut lantaran banyak
kutunya atau luka-luka, maka tidak diharamkan, dan baginya terkena
kewajiban fidyah.
Apabila ada rambut yang tumbuh pada mata atau menutupi mata lalu membuangnya, maka tidak haram dan tidak wajib fidyah.
Haram memotong kuku tangan atau kaki, walaupun hanya sekuku hitam ;
Tapi diperbolehkan memotong kukunya yang pecah, jika menyakitkan
walaupun tidak seberapa berat.
Haram khusus bagi lelaki –tidak terrnasuk wanita- tanpa ada udzur
menutuf sebagian kepalanya memakai sesuatu yang menurut penilaian Urf
bisa dianggap sebagai tutup, baik itu berjahit ataupun tidak, misalnya
kopyah atau sesobek kain.
Adapun menutupnya memakai sesuatu yang tidak bisa dinilai sebagai
tutup, maka tidak haram; seperti misalnya benang kecil, berbantal dengan
semacam serban atau meletakkan tangan di atas kepalanya tanpa ada
maksud menutupi.
Lain halnya bila meletakkan tangan dengan maksud menutup kepalanya, hukum keharamannya ada dipertentangkan.
Tidak Haram, membawa semacam zinbil yang tidak dimaksud untuk menutup
kepala, berteduh di suatu tempat sekalipun teduhannya menempel pada
kepalanya.
Haram bagi kaum lekaki memakai di bagian manapun badannya pakaian
berjahitkan benang semisal baju kemeja atau toga, pakaian berjahitkan
benang tenun atau pakaian yang diikat, jika tanpa ada udzur.
Maka baginya lantaran udzur melintang, misalnya udara panas atau
dingin yang sampai tidak kuat menderitanya walaupun belum boleh
bertayamum karenanya, diperbolehkan menutup kepalanya dengan kewajiban
Fidyah, sebagai pengqiyasan kewajiban fidyah pada potong rambut yang di
langgar sebab udzur melintang.
Tidak haram memakai pakaian berjahit jika tidak ada yang lain dan
tidak bisa memperolehnya sekalipun dengan semacam meminjam kepada orang
lain, maka rnenutup aurat memakai pakaian berjahit diperbolehkan tanpa
terkena kewajiban membayar fidyah;
Lain halnya jika mendapat yang tidak berjahit dari Hibah (maka tidak
haram memakai yang berjahit), karena keagungan nilai anugerah-nya.
Memakai pakaian berjahit diseluruh badannya (tidak sekedar menutup
aurat) karena diperlukan lantaran kepanasan atau kedinginan, adalah
diperbolehkan dengan kewajiban fidyah.
Diperbolehkan berselendang atau berselimut dengan baju kemeja atau
toga, membuhul atau mengikat sarung dengan benang agar terpakai kokoh;
Tidak boleh memasang krakh baju toga pada gulunya sekalipun lengannya
tidak dipasang (lengan baju tidak dipakai semestinya.)
Haram Bagi Kaum Wanita -tidak termasuk lelaki- menutupi bagian wajahnya memakai apa saja yang dianggap sebagai tutup.
.
Fidyah untuk satu pelanggaran atas larangan di waktu Ihram selain persetubuhan, adalah menyembelih seekor kambing kurban, yaitu domba berumur satu tahun atau kambing biasa umur 2 tahun.
Atau bersedekah dengan 3 Sha’ makanan kepada 6 orang fakir miskin daerah Haram, masing-masing 1/2 Sha’.
Atau berpuasa tiga hari.
Bagi pelanggar larangan-larangan di atas, boleh memilih salah satu dari tiga macam fidyah tersebut.
.
Bila melanggar larangan-larangan tersebut karena lupa atau tidak
mengetahui hukumnya, maka tetap wajib fidyah bila pelanggaran berwujud
pengrusakan, seperti misalnya memotong rambut, kuku, atau membunuh
binatang buruan;
Bila pelanggaran berwujud Tamattu’ (=keni’matan), misalnya memakai
pakaian berjahit atau harum-haruman, maka tidak terwajibkan membayar
fidyah.
Dalam menanggalkan 3 helai rambut atau 3 potong kuku dalam satu waktu
serta tempat yang sama menurut Urf, dalah wajib fidyah penuh; Sedang
bila hanya satu helai/potong, maka fidyah satu mud, dan kalau dua maka
dua mud.
Dam yang harus dipenuhi sebab meninggalkan kewajiban Haji misalnya
Ihram dari miqat, bermalam di Muzdalifah atau Mina, melontar Jumrah dan
Thawaf Wada’ adalah sebagaimana Dam pengamal sistim Haji Tamatlu’ atau
Qiran, yaitu menyembelih seekor kambing Qurban di tanah Haram.
Bagi yang tidak mampu menyembelihnya, sekalipun karena hartanya
sedang tiada di tangannya, sekalipun ada yang sanggup memberinya hutang
atau mendapat kambing Dam dengan harga melebihi harga sepatutnya, maka
berpuasa 3 hari seketika setelah meninggalkan kewajiban tersebut, dan
ditunaikan setelah Ihram sebelum tanggal 10 Dzul Hijjah sekalipun
dirinya sebagai musafir.
Maka tidak boleh menunda pelaksanaan tersebut, karena kemudian
menjadi Qadla’, juga tidak boleh dilakukan sebelum Ihram Haji karena
berdasarkan ayat.
Selain itu, wajib pula berpuasa 7 hari lagi selelah sampai di kampung
halamannya. Puasa-puasa tersebut disunahkan menunaikan dengan sambung
menyambung.
Allah berfirman surat Al-Baqarah ayat 196 “….. maka barang siapa
tidak mendapatkan kambing kurban, wajib berpuasa 3 hari dalam masa Haji
dan 7 hari lagi setelah kalian pulang kembali”.
Wajib bagi orang yang merusakkan Nusuk sekalipun Nusuk sunnahnya dengan bersetubuh, membayar Dam seekor badanah qurban.
Badanah disini adalah dimaksudkan dengan onta jantan ataupun betina.
Kalau tidak mampu, maka seekor lembu; Kalau juga tidak mampu, maka 7
ekor kambing; Kalau tidak maka bershadaqah makanan sejumlah harga seekor
Badanah; Kalau tidak mampu, maka berpuasa
satu hari untuk setiap satu mud dalam jumlah berapa mud makanan tersebut.
Sedang bagi pihak wanitanya, ia berdosa tapi tidak terkena kewajiban fidyah seperti itu.
Dari ucapanku tadi “Yang merusakkan Nusuk”, bisa diketahui bahwa
Nusuk menjadi batal sebab persetubuhan; Dalam pada itu, ia masih terkena
kewajiban melanjutkan perbuatan Nusuknya dengan tata cara sebagaimana
yang tidak batal.
Selain Dam tersebut, juga terkena kewajiban mengqadlai dengan
seketika (kalau Haji, berarti tahun depan) sekalipun Nusuk Sunnah; Sebab
dengan telah mulainya menunaikan itu membuat waktu kewajiban yang
semula luas menjadi sempit dan yang semula, sunnah menjadi fardlu
-maksudnya wajib ditunaikan seperti fardlu-, berbeda halnya dengan
ibadah-ibadah sunnah selainnya.
Penutup
Sunnah bagi siapapun pengunjung Makkah, lebih-lebih orang Haji,
menyembelih binatang ternak sebagai Hadiah yang ia bawa dari kampung
halaman sendiri; Kalau tidak, maka bisa membelinya di tengah jalan,
kemudian bisa membeli di Makkah, kemudian di Arafah, kemudian di Mina;
Dan temak dimaksud adalah yang gemuk dan bagus; Hadiah ini tidak wajib
kecuali bila telah dinadzarkan.
.
wallahu a’lam
semoga manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar