Live Economic Calendar Powered by Investing.com - The Leading Financial Portal

Rabu, 05 September 2012

Kritik: Mengenal Kata Bid’ah

Saya dapatkan sebuah tulisan dari: http://muslimah.or.id/
Saya ingin menanggapi. Agar lebih leluasa maka saya pindah ke sini, dengan tanggapannya sekalian. Tulisan yang tidak ditanggapi dihapus. Jika ingin artikel lengkap lihat link di atas.
Tulisan asal warna hitam. Tanggapan kami biru dan huruf miring.

Mengenal Kata Bid’ah
27Mar2008 Kategori: Manhaj
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih
Tidak ada hal yg baru dalam pengantar. Ok ok saja.

Makna Bid’ah Secara Bahasa
Makna bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Makna Bid’ah Secara Istilah
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam agama yang menandingi syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menulis artikel. Ketika definisi bid’ah sudah ditetapkan, maka segala sesuatu yg mengandung kata itu(bid’ah) harus bersandar kepadanya. Di sini tidak dijelaskan akan mengacu ke yang mana. Kapan makna mengacu ke yg pertama, kapan mengacu ke yg kedua.
Dari sini saya teringat akan definisi imam Syafi’i, bahwa bid’ah secara garis besar terbagi dua. Segala sesuatu yang baru yang sesuai syariat maka ia bid’ah hasanah, sedangkan yang bertentangan dengan syariat maka dia bid’ah dlalalah (buruk). Terlepas apakah itu secara istilah ataupun bahasa. Kedua-duanya berlaku seperti itu. OK .. kita tak bahas definisi imam Syafi’i.
Dari definisi ini, kita perlu memperjelasnya menjadi beberapa poin.
Pertama, ’suatu cara baru dalam agama’. Hal ini berarti cara atau jalan baru tersebut disandarkan kepada agama. Adapun cara baru yang tidak dinisbatkan kepada agama maka itu bukan termasuk bid’ah. (akan dibahas lebih rinci di bawah).
Di dalam agama yang agung ini, apakah ada sesuatu hal yang tidak bisa dinisbatkan kepada agama? Adakah perkara2 (termasuk yang baru) yang tidak bisa diniatkan untuk beribadah?
Tidak ada kan. Artinya semua perkara (termasuk yang baru) apapun bisa diniatkan sebagai ibadah. Sehingga, semua perkara apapun di dunia ini pasti merupakan perkara agama. Dengan demikian, semua cara baru .. pasti termasuk dalam perkara agama. Atau, semua cara baru .. pasti termasuk bid’ah.
Kedua, ‘menandingi syari’at’. Maksudnya amalan bid’ah mempersyaratkan amalan tertentu yang menyerupai syari’at, sehingga ada beban yang harus dipenuhi.
Ada yang tidak pas. Menandingi syariat artinya membuat syariat baru yg tidak sama dengan syariat asli. Inilah yg terlarang. Sedangkan amalan ibadah itu ada yang ketat syariatnya (ibadah wajib, mahdah), ada yang longgar (amalan-amalan sunnah, ibadah umum, ghairu mahdah).

Menandingi syariat berarti juga menetapkan hukum yg bertentangan dengan syariat asli. Misalnya, mewajibkan yang mubah, atau mengharamkan yang halal. Makruh diubah jadi haram, dan sejenisnya.
Seperti misalnya puasa mutih, yasinan setiap hari kamis (malam jum’at), puasa nisyfu sya’ban dan lain-lain, Perlu diperhatikan pula bahwa pada umumnya, setiap bid’ah juga memiliki dalil. Namun, janganlah terjebak dengan dalil yang diberikan, karena ada dua kemungkinan dari dalil yang diberikan. Pertama, dalil tersebut bersifat umum namun digunakan dalam amalan khusus. Kedua, bisa jadi dalil yang digunakan adalah palsu. Oleh karena itu, wahai saudariku, menuntut ilmu agama sangat penting melebihi kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Ilmu agama dibutuhkan di setiap tarikan nafas kita karena dalil dibutuhkan untuk setiap ibadah yang kita lakukan. Merupakan kesalahan ketika kita melakukan ibadah terlebih dahulu baru mencari-cari dalil. Inilah yang membuat pengambilan dalil tersebut menjadi tidak tepat karena sekedar mencari pembenaran pada amalan yang sebenarnya bukan termasuk syari’at.
Sepakat bahwa kita tidak menggunakan dalil palsu. Namun tidak ada masalah menggunakan dalil yg bersifat umum untuk amalan-amalan sunnah (atau istilah di artikel itu .. amalan khusus), selama hal itu tidak menyelisihi syariat. Justru pelarangan secara mutlak penggunaan dalil umum inilah yang bid’ah terlarang. Adakah dalil pelarangannya?
Yasinan setiap hari kamis (malam jum’at). Ada dalil keutamaan tentang membaca surah yasin. Syariatnya, sama dengan ketentuan membaca Al Qur’an pada umumnya. Waktunya bebas, termasuk di malam jumat. So .. amalan membaca surah yasin di malam jum’at ini tidak ada menyelisihi/ menandingi syariat.
Justru kalau ada yang melarang amalan ini, berarti itu adalah mengharamkan yang halal. Itu berarti menandingi syariat yang telah ada. Itulah bid’ah sesat itu sendiri.
Ketiga, ‘tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah’. Artinya, setiap bid’ah merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam agama, sehingga dengan adanya bid’ah tersebut maka beban seorang muslim (mukallaf) akan bertambah. Salah satu contohnya mengkhususkan puasa nisyfu sya’ban, padahal puasa ini tidak disyari’atkan dalam Islam. Sungguh merugi bukan? Kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan sia-sia.
Berlebih-lebihan dalam agama? Saya gak paham istilah ini.
Puasa nisfu sya’ban. Ada dalil tentang puasa sunnah. Syariatnya, sama dengan puasa wajib. Waktunya kapan saja, kecuali pada hari raya dan hari tashrik. Selain di hari-hari itu diperbolehkan puasa sunnah, termasuk di hari nisfu sya’ban. Maka, puasa di hari nisfu sya’ban tidak bertentangan dengan syariat.
Justru kalau melarang amalan ini, maka itu berarti mengharamkan hal yang dibolehkan dalam syariat. Itu berarti menandingi syariat yang telah ada. Itulah bid’ah sesat.
Setiap Bid’ah Adalah Sesat
Ketahuilah saudariku. Setiap bid’ah adalah sesat. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة
“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867)
Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة
“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
Adapun pembagian yang ada pada bid’ah, maka tetap menunjukkan kesesatan bid’ah tersebut. Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah adalah sebuah kesalahan sebagaimana penulis jelaskan sebab-sebabnya dalam artikel sebelumnya.
Pembagian bid’ah menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah diperkenalkan oleh imam syafi’i. Memang selain Nabi tidak ada yang terlepas dari kesalahan. Demikian juga dengan imam syafi’I rhm, juga imam syatibi rhm. Apalagi si penulis artikel ini, dan juga .. kami. Pendapat kami, definisi dari imam syafii lebih mendekati kebenaran. Ada banyak ulama2 lain menyetujuinya dan merujuknya.
Sedangkan di artikel ini pun tertulis bid’ah ada dua pengertian (definisi), sebagaimana tertulis di bagian paling atas. Yang pertama boleh, yang kedua terlarang .. ehm .. apa bedanya.
Imam Syathibi rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya pembagian bid’ah (yang tetap menetapkan kesesatan seluruh bid’ah) yang dapat memperjelas kerancuan yang ada di masyarakat. Yang pertama adalah bid’ah hakiki yang perkaranya lebih jelas (kecuali bagi orang-orang yang taklid dan tidak mau belajar) karena bid’ah hakiki tidak memiliki sandaran dalil syar’i sama sekali. Semisal menentukan kecocokan seeorang untuk menjadi suami atau istri dengan tanggal lahir atau melakukan ritual-ritual khusus dalam acara pernikahan yang tidak ada landasannya dalam syari’at sama sekali. Adapun jika berkaitan dengan bid’ah idhofi maka sebagian orang mulai rancu dan bertanya-tanya. Misalnya, bid’ah dzikir berjama’ah, atau tahlilan. Banyak orang terburu-buru dengan mengatakan, “Masa dzikir dilarang sih?” atau “Kok membaca Al Qur’an dilarang?” Maka kita perlu (sekali lagi) memahami lebih dalam tentang bid’ah ini.
Bid’ah idhofi ini mempunyai dua sisi, sehingga apabila dilihat pada salah satu sisi, maka seakan-akan itu sesuai dengan sunnah karena berdasarkan dalil. Namun bila dilihat dari sisi lain, amalan tersebut bid’ah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada dalil atau tidak disandarkan kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari sisi makna, maka bid’ah idhofi ini secara asal memiliki dalil. Akan tetapi dilihat dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang digunakan tidak mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut membutuhkan dalil. (Majalah Al-Furqon edisi 12 tahun V).
Adakah ulama salafiyah yang menjelaskan tentang contoh-contoh yang disebut itu sebagai bid’ah terlarang. Atau ini bid’ah si penulis artikel saja.
Maka jelas yang dilarang bukanlah dzikir atau membaca Al-Qur’an untuk contoh dalam masalah ini. Akan tetapi, kebid’ahan tersebut terletak pada tata cara, sifat atau perincian pada ibadah tersebut yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan melafadzkan dzikir bersama-sama dipimpin satu imam atau membaca Al-Qur’an untuk orang mati. Semuanya ini adalah cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejak kapan syariat ditetapkan hanya berasal dari contoh perbuatan Rasul secara langsung? Siapa yang berpendapat seperti ini?
Setahu kami, selain contoh nyata dari Nabi saw, maka sabda Nabi, anjuran beliau saw, persetujuan beliau, semua dapat merupakan syariat.
OK .. selama ini saya belum pernuh pernah mendapatkan artikel bagaimana tata cara dzikir atau membaca Al-Qur’an yang tidak bid’ah dari ustadz-ustadz salafi/wahabi. Kalaupun ada isinya adalah bernada negatif, bukan seperti yg kelompok itu lakukan, jangan ini, tidak seperti itu, seperti itu bid’ah, dst. Petunjuk dzikir yg bernada positif, tata caranya seperti ini dst dst, belum pernah saya jumpa.
Catatan penting dalam masalah ini adalah dalam perkara ibadah (yaitu apa-apa yang kita niatkan untuk mendekatkan diri kita pada Allah Subhanahu wa Ta’ala), kita harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan yang dicontohkan dan diperintahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada ibadah ghairu mahdah (ibadah umum) yang mana syariatnya sangat longgar. Banyak perkara ibadah ghairu mahdah ini tidak ada pada zaman Nabi. Anda bekerja sebagai konsultan, sopir, teknisi, manajer, dll. Juga tentang perbuatan-perbuatan baru yang baik yang tak ada di zaman Nabi. Ada arisan, temu alumni, rapat RT, dll. Kalau diniatkan ibadah insya Allah maka menjadi ibadah. Sedangkan semua jenis pekerjaan/ kegiatan itu tidak ada di zaman Nabi dan tidak ada contoh dari Nabi.
Untuk lebih jelasnya, simak artikel kami, al: konsep ibadah, ibadah umum n khusus, kritik kami yg laen.
Semoga Allah Ta’ala mempermudah kita dalam memahami pembahasan ini dan menerimanya dengan lapang dada serta menjadikan kita orang-orang yang berusaha kuat menjauhi perkara baru dalam agama. Aamiin ya mujibas saailin.
Semoga Allah selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita. Amien
Wallahu a’lam.
.
.
Yang ini kelanjutannya dari sini.
Yang Bukan Bid’ah (1)
12Apr2008 Kategori: Manhaj
(lanjutan artikel Mengenal Kata Bid’ah)
Disusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini beberapa poin penting yang ada pada artikel sebelumnya dan masih akan dibahas kembali pada artikel ini.
1. Makna bid’ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
2. Makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
3. Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan bagian dari agama.
4. Setiap bid’ah adalah sesat.
Lagi kritik ku sampaikan. Point 4 merujuk ke point (makna) yang mana?
Jika tak da keterangan, maka makna 1 masuk. Itu berarti artikel ini tak konsekuen, karena bid’ah khalifah Umar ra ttg tarawih dibolehkan dengan alasan bid’ah scr bahasa. (Lihat di web ybs di jilid 2)
Kerancuan Pertama: Antara Adat dan Ibadah
……….
Sebuah amalan ibadah, hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil syar’i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan. Sedangkan sebaliknya, hukum asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya.
Tepatnya .. dalam masalah muamalah, hukum asal itu boleh sampai ada dalil yg melarangnya.
Contoh dalam masalah ibadah adalah ibadah puasa. Hukum asalnya adalah haram. Namun, karena telah ada dalil yang mewajibkan kita wajib puasa Ramadhan, atau dianjurkan puasa sunnah senin kamis maka ibadah puasa ini menjadi disyari’atkan. Namun, coba lihat puasa mutih (puasa hanya makan nasi tanpa lauk) yang sering dilakukan orang untuk tujuan tertentu. Karena tidak ada dalil syar’i yang memerintahkannya, maka seseorang tidak boleh untuk melakukan puasa ini. Jika ia tetap melaksanakan, berarti ia membuat syari’at baru atau dengan kata lain membuat perkara baru dalam agama (bid’ah).
Setuju bahwa puasa mutih bukan berasal dari ajaran islam. Jika ada orang yang mengamalkannya sebagai ganti ibadah puasa sunnah atau wajib, maka itu tertolak. Jika ada orang yang mensyariatkannya di dalam islam, maka itulah bid’ah terlarang.
Namun yang saya ketahui, kebanyakan orang yg puasa mutih dan semacamnya, itu untuk memperoleh semacam ilmu kebal atau sejenisnya. Koreksi jika salah. Bukan sebagai ganti atau menyamakannya dengan puasa wajib atau sunnah. Pembahasan masalah ini biarlah yang lebih mengetahui yg membahasnya.
Kami ada contoh yg lebih mudah. Ada orang melakukan puasa ngebleng (tidak makan tidak minum) seharian. Ada tujuan tertentu. Besoknya mau operasi usus buntu. Jika puasa ngebleng itu dlm rangka mempertahankan hidupnya, bukankah itu termasuk ibadah. Segala sesuatu yg diusahakan oleh si sakit untuk mempertahankan hidup mestinya bernilai ibadah.
Puasa ngebleng bukan dari ajaran islam. Dalam hal ini dari dokter. Namun puasa ngebleng yg ia lakukan mestinya bukan bid’ah sesat.
Yang bid’ah sesat mestinya yang semacam ini; Ada satu kelompok jamiyah di USA sana. Namanya Nation of Islam. Pendirinya adalah Elijah Muhammad. Kelompok ini mensyariatkan puasa wajib jatuh di bulan Desember, bukan Ramadlan. Inilah bid’ah sesat yg nyata. Elijah Muhammad bahkan mendakwa dirinya sebagai Nabi.
Contoh masalah adat adalah makan. Hukum asalnya makan adalah halal. Kita diperbolehkan (dihalalkan) memakan berbagai jenis makanan, misalnya nasi, sayuran, hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Di sisi lain, ternyata syari’at menjelaskan bahwa kita diharamkan untuk memakan bangkai, darah atau binatang yang menggunakan kukunya untuk memangsa. Jadi, meskipun misalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan nasi, bukan berarti orang yang makan nasi mengadakan bid’ah. Karena hukum asal dari makan itu sendiri boleh.
Tidak tepat kalau makan disebut sebagai perkara adat. Sebut saja sebagai perkara mubah.
Adat adalah; 1 aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2 cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; [dari Kamus Besar Bahasa Indonesia]
Makan adalah perkara yang mubah. Jika diniatkan ibadah maka menjadi ibadah, yaitu ibadah ghairu mahdah. Kami ada contoh berbagai bid’ah mengenai masalah makan ni.
Catatan Penting!
Akan tetapi di sisi lain, ada orang yang mengkhususkan perkara adat ini menjadi ibadah tersendiri. Ini adalah terlarang. Maka, harus dilihat kembali penerapan dari kaedah bahwa hukum asal sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.
Contoh dalam masalah ini adalah masalah pakaian. Pakaian termasuk perkara adat, dimana orang diberi kebebasan dalam berpakaian (tentu saja dengan batasan yang telah dijelaskan dalam Islam). Namun, ada orang-orang yang mengkhususkan cara berpakaian dengan alasan bahwa cara berpakaian tersebut diatur dalam Islam, sehingga meyakininya sebagai ibadah.
Contohnya adalah harus menggunakan pakaian terusan bagi wanita atau harus menggunakan pakaian wol (biasa dilakukan orang-orang sufi). Karena perkara adat ini dijadikan perkara ibadah tanpa didukung oleh dalil-dalil syar’i, maka cara berpakaian dengan keyakinan semacam ini menjadi terlarang.
Baru kali ini aku dengar bahwa pakaian terusan bagi wanita atau menggunakan pakaian wol itu terlarang (haram).
Mengenai keharusan untuk memakai pakaian tertentu (terusan atau wol dalam contoh itu), sudahkah diteliti sebab musababnya? tujuannya? Adakah fatwa bahwa wajib memakainya, dan bahwa jika tak memakainya maka berdosa? Kalau ada fatwa wajib (tanpa ada alasan yg syar’i).. setuju bahwa itu bid’ah, karena itu berarti mengubah perkara mubah menjadi wajib.
Namun kalau tak ada, maka ini hanyalah masalah adat, masalah tradisi, masalah selera, perkara yg mubah. Tidak ada alasan untuk melarangnya. Tidak ada alasan men-cap-nya sebagai bid’ah sesat.
Kita tak bisa menghukumi sesuatu hanya berdasar prasangka, atau berdasar adat kebiasaan masyarakat. Jika tak ditemukan fatwa yang mewajibkannya, maka penulis artikel telah mengharamkan perkara yg mubah. Mengubah-ubah hukum syariat adalah bid’ah terlarang.
Kita pakai pakaian batik, jaz, beskap blangkon dalam upacara walimah temanten. Masyarakat menganggapnya itu wajib. Hampir semua memakainya. Adakah dalilnya? Sesatkah? Sedangkan menghadiri undangan nikah itu termasuk ibadah.
Bahkan wajib pakai jas atau batik atau pakaian resmi kalau menghadap presiden. Ada UU-nya lhoo.

Kerancuan Kedua: Antara Bid’ah dan Mashalih Mursalah
Pada poin ini, perlu bahasan yang lebih rinci lagi berkaitan dengan mashalih mursalah. Syathibi dalam kitabnya al I’tishom telah menjelaskan perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid’ah yang akan dapat dimengerti oleh orang yang mau memahami. Berikut ini perbedaan tersebut dengan penyesuaian dari penulis.
Pertama,
Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari’at, sehingga dalam penetapannya tetap memperhatikan dalil-dalil syari’at.
Misalnya: pengumpulan mushaf Al Qur’an. Karena pengumpulan ini sifatnaya sesuai dengan maksud syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil syari’at maka pengumpulan mushaf Al-Qur’an bukanlah bid’ah walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengumpulkannya.
100
Kedua,
Mashalih mursalah lingkupnya adalah pada perkara-perkara yang dapat dipahami oleh akal.
Contohnya adalah penggunaan mikrofon di masjid-masjid. Kita ketahui mikrofon berguna untuk memperjelas suara sehingga dapat didengar sampai jarak yang jauh. Hal ini termasuk perkara adat dimana kita boleh mempergunakannya. Hal ini semisal kacamata yang dapat memperjelas huruf-huruf yang kurang jelas bagi orang-orang tertentu.
Yang menjadi pertanyaan, akal siapa yang dipakai sebagai ukuran? Tidak setiap orang punya akal yang sama. Ada yang cethek akalnya, ada yang panjang. Ada yang pinter, ada yang susah diajak berpikir.
Berbeda halnya dengan bid’ah. Amalan-amalan bid’ah tidak dapat dipahami oleh akal. Hal ini dikarenakan bid’ah merupakan amalan ibadah yang berdiri sendiri. Padahal tidaklah amalan ibadah dapat dipahami oleh akal. Semisal, mengapa sholat fardhu ada lima, dan mengapa jumlah raka’aatnya berbeda-beda. Atau mengapa ada dzikir yang berjumlah 33. Maka semua ibadah ini tidak dapat dipahami maksudnya oleh akal.
Ada ibadah mahdah, ada ibadah ghairu mahdah. Sholat fardlu adalah ibadah mahdah yang tak bisa diubah-ubah syarat rukun dan waktunya. Jangan campur adukkan antara ibadah mahdah dengan ibadah ghairu mahdah.
Ketiga,
Mashalih mursalah diadakan untuk menjaga perkara yang sifatnya vital (dharuri), serta menghilangkan permasalahan berat yang biasanya muncul dalam perkara agama.
Perkara dharuri yang dimaksud misalnya adalah agama. Sebagaimana contoh pertama, maka penyusunan mushaf Al Qur’an kita dapat pahami berkaitan untuk menjaga agama agar kemurnian Al Qur’an tetap terjaga.
Coba bedakan dengan bid’ah. Sebagaimana penulis sebutkan pada artikel sebelumnya, bahwa bid’ah dibuat untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah sehingga bid’ah justru menambah beban bagi seorang muslim. Contohnya adalah mengadakan peringatan isra mi’raj, maulid atau yang semacamnya sehingga menambah beban seseorang untuk mengeluarkan dana dan tenaga untuk mengadakan acara tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan untuk merayakan hal-hal tersebut.
Dari point mashalih mursalah di atas maka timbul pertanyaan,
Kapan suatu perbuatan itu dianggap sebagai bid’ah, dan kapan sebagai mashalih mursalah. Apa ukurannya?
Artikel itu menunjuk Pembukuan Al Qur’an sebagai mashalih mursalah, sedangkan Maulid (Isra’ Mi’raj, dll) sbg bid’ah sesat. Ada double standart. Hemat kami, Maulid (dll) adalah juga mashalih mursalah (bid’ah hasanah dalam kriteria imam syafi’i rhm), berdasar qiyas dari pembukuan Al Qur’an. Mari kita lihat,
Penyusunan mushaf Al Qur’an agar kemurnian Al Qur’an tetap terjaga. Maulid diperingati agar umat mengingat sejarah Nabi saw, menambah cinta kepada beliau, dan meneladani beliau.
Maulid tidak ada contoh Nabi, pembukuan al Qur’an juga tidak ada contoh Nabi.
Maulid dikatakan menambah beban, kalau demikian maka pembukuan al Qur’an juga menambah beban. Alangkah banyaknya bahan, beaya serta tenaga untuk mencetaknya. Maaf bukan untuk menentang tapi untuk menunjukkan bahwa keduanya ada beban.
Maulid tidak diperintahkan, demikian juga pembukuan al Qur’an. Dalam sejarah, ketika diusulkan pembukuan al Qur’an oleh sayidina Umar ra, maka jawaban khalifah Abu Bakr ra pertama kali kurang lebihnya adalah sbb,
” Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ? ….”
Mohon maaf kalau ada kesalahan.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: