Bireuen—Julukan Kota Juang yang ditabalkan untuk
Kabupaten Bireuen menarik untuk ditelusuri asal usulnya. Terlebih masih
banyak orang yang tidak mengetahuinya. Bahkan mereka yang mengaku orang
Bireuen sekali pun.
Tgk Sarong Sulaiman, seorang pelaku sejarah dan pejuang yang sekarang
berusia 110 tahun, yang berdomisili di Desa Keude Pucok Aleu Rheng,
Peudada Bireuen, saat ditemui Narit di rumahnya, kelihatan masih sehat
dan ingatannya pun masih kuat.
Menurut Kepala Badan Statistik (BPS) Aceh, Syeh Suhaimi kepada Narit,
Tgk Sarong merupakan salah seorang pelaku sejarah yang masih hidup.
“Beliau merupakan seorang pejuang kemerdekaan negara ini, bahkan
terlibat langsung dalam masa pergerakan melawan penjajahan Belanda
dulu,” kata Syeh Suheimi saat melakukan sensus penduduk di Bireuen
beberapa bulan lalu.
Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat Belanda masih berada di Aceh
Ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, Kakek Sarong yang
terlihat masih bugar dengan lancar menceritakan sejarah Aceh pada
umumnya dan Bireuen khususnya. Tgk Sarong pernah menjadi komandan
pertempuran Medan Area tahun 1946, yang saat itu diberi gelar Kowera
(Komandan Perang Medan Area).
Ayah tiga anak dan sejumlah cucu ini, pernah ditawarkan menjadi guru
ngaji di Arab Saudi, ketika dirinya bersama istri menunaikan ibadah
haji ke Tanah Suci pada tahun 60-an. Namun, tawaran itu ditolaknya
karena sayang pada sang istri yang harus pulang ke Aceh tanpa
pendamping. “Itu romansa masa lalu. Tapi, di sini (Aceh-red) saya juga
menjadi guru ngaji he he he…,” katanya sambil terkekeh
Menurut pelaku sejarah yang lancar berbahasa Arab dan Inggis ini,
“Bireuen itu berasal dari Bahasa Arab yaitu asal katanya Birrun, artinya
kebajikan, dan yang memberikan nama itu juga orang Arab pada saat
Belanda masih berada di Aceh. Kala itu, orang Arab yang berada di Aceh
mengadakan kenduri di Meuligoe Bupati sekarang. Saat itu, orang Arab
pindahan dari Desa Pante Gajah, Peusangan, lalu mereka mengadakan
kenduri. Kenduri itu merupakan kebajikan saat menjamu pasukan Belanda.
Orang Arab menyebut kenduri itu Birrun. Sejak saat itulah nama Bireuen
mulai dikenal,” kata pria berkulit sawo matang yang mengaku pernah jadi
guru Bahasa Arab di sebuah sekolah di Aceh tempoe doeloe.
Dengan penuh semangat, Tgk Sarong Sulaiman menceritakan, sebelum
Bireuen jadi nama Kota Bireuen yang sekarang ini, dulu namanya Cot Hagu.
Setelah peristiwa itulah, nama Cot Hagu menjadi nama Bireuen. “Jadi
Bireuen itu bukan asal katanya dari bi reuweueng (memberi ruang/ lowong
atau celah), tetapi, Birrun itulah asal kata nama Kota Bireuen
sekarang,” kata pria yang mengaku pernah berhasil memukul mundur pasukan
Kolonial Belanda, saat bertempur melawan penjajahan dulu.
Asal usul Julukan Kota Juang
Adapun mengenai Bireuen dijuluki sebagai Kota Juang, menurut
keterangan para orang tua-tua di Bireuen, Bireuen pernah menjadi
ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke
tangan penjajah dalam agresi Belanda. “Meuligoe Bupati Bireuen yang
sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno,” kata
almarhum purnawirawan Letnan Yusuf Ahmad (80), atau yang lebih dikenal
dengan panggilan Letnan Yusuf Tank, yang berdomisili di Desa Juli
Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Narit berkunjung ke
kediamannya sebelum almarhum dipanggil Yang Maha Kuasa.
Bahkan katanya, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen
khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini, begitu besar
jasanya. “Perjalanan sejarah telah membuktikannya. Di zaman Revolusi
1945, kemiliteran Aceh pernah dipusatkan di Bireuen,” paparnya
bersemangat.
Saat itu, katanya, dibawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan
Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang
berkedudukan di Meuligoe Bupati yang sekarang, pernah menjadi kantor
Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. “Waktu
itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap
serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat
julukan sebagai Kota Juang,” katanya.
Presiden Soekarno, lanjut Yusuf Tank, juga pernah mengendalikan
pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, yang
bermarkas di Kantor Divisi X di Meuligo Bupati Bireuen yang sekarang.
“Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta
Ibukota RI yang kedua, kembali dikuasai Belanda. Kebetulan Presiden
Soekarno juga berada di sana saat itu,menjadi kalang kabut. Akhirnya
Soekarno memutuskan mengasingkan diri ke Bireuen pada Juni 1948, dengan
pesawat udara khusus Dakota.yang dipiloti Teuku Iskandar. Pesawat itu
turun di lapangan Cot Gapu,” kisahnya sambil menerawang.
Saat itu Soekarno disambut para tokoh Aceh diantaranya, Gubernur
Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, Panglima Divisi X, Kolonel
Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para
tokoh masyarakat bahkan ratusan pelajar Sekolah Rakyat (SR) dan malam
harinya diselenggarakan leising (rapat umum) akbar.
Dalam rapat itu Soekarno yang dikenal singa podium Asia dalam
pidatonya membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen apalagi
pada saat itu mengatakan bahwa Belanda telah menguasai kembali Sumatera
Timur (Sumatera Utara).
Setelah itu Kemiliteran Aceh, dari Banda Aceh dipindahkan ke Juli
Keude Dua di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef
dengan membawahi Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo.
“Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, lantaran Bireuen
letaknya sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk
memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera
Timur (sekarang Sumut-red),” kisah Yusuf Tank.
Lalu Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera silih berganti
dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank di bawah
pimpinan dirinya, yang memiliki puluhan unit mobil tank hasil rampasan
dari tentara Jepang. Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X
mempertahankan Republik ini di Medan Area dan juga di zaman Revolusi
1945, Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), pernah dipusatkan di
Juli Keude Dua sekarang ini. “Aceh yang tak pernah mampu dikuasai
Belanda dan Aceh juga adalah daerah modal Indonesia,” katanya penuh
emosi.
Setelah seminggu berada di Bireuen, kemudian Soekarno bersama
Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja (Banda
Aceh) untuk mengadakan pertemuan dengan para saudagar Aceh di Hotel
Atjeh, di sebelah selatan masjid Raya Baiturrahman.
Dalam pertemuan itu Soekarno ‘merengek’ kepada masyarakat Aceh untuk
menyumbang dua pesawat terbang untuk negara. Siang itu Presiden Soekarno
sempat tidak mau makan sebelum menadapat jawaban dari Tgk Daud
Beureu’eh. Setelah berembug lagi para saudagar Aceh lalu diputuskan
bersedia menyumbang dua pesawat terbang sebagaimana diminta Soekarno,
lalu masyarakat Aceh dengan cepat mengumpulkan uang yang akhirnya mampu
dibeli dua peswat yaitu Seulawah I dan Seulawah II.
Dua peswat itu juga merupakan cikal bakal lahirnya pesawat Garuda
Indonesia Airways dan Radio Rimba Raya di Kawasan Kabupaten Bener
Meriah. Radio Rimba Raya yang mengudara ke seluruh penjuru dunia, dengan
menggunakan beberapa bahasa asing juga merupakan cikal bakal RRI
sekarang ini. “Dan itu juga bagian dari radio perjuangan dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” pungkas mantan pejuang Letnan
Yusuf Tank. (Narit / AM Gandapura)
Sumber : seputar aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar