FIRMAN ALLAH SWT
“KATAKANLAH:
“DENGAN KARUNIA ALLAH DAN RAHMAT-NYA, HENDAKLAH DENGAN ITU MEREKA
BERGEMBIRA. KARUNIA ALLAH DAN RAHMAT-NYA ITU ADALAH LEBIH BAIK DARI APA
YANG MEREKA KUMPULKAN”. (Q.S. YUNUS : 58)
Segala puji hanya milik Allah. Rahmat dan sejahtera kepada Rasulullah dan para sahabatnya sekalian.
Yang
menjadi tinjauan dan pembahasan pada ayat tersebut diatas adalah :
kata-kata “Karunia Allah” dan “Rahmat-Nya” dan juga perintah
bergembiralah karena keduanya.
Apa yang dimaksud dengan “Karunia Allah” dan “Rahmat Allah” pada ayat yang tersebut diatas?
Syihabuddin Mahmud bin Abdullah Al-Husaini Al-Alusiy dalam tafsir Beliau Ruhul Ma’aniy Fi Tafsir Al-Quran Wa Sab’a Matsaniy
menjelaskan ada 5 penafsiran tentang makna kalimat tersebut,
diantaranya adalah: Telah mengeluarkan oleh Abu Syaikh dari Ibnu ‘Abbas
RA: bahwa yang dimaksud dengan “Karunia Allah” pada ayat tersebut diatas
adalah Ilmu, dan yang dimaksud dengan “Rahmat Allah” adalah Nabi
Muhammad SAW. Dan telah mengeluarkan oleh Al-Khathib dan Ibnu ‘Asakir:
bahwa yang dimaksud dengan “Karunia Allah” pada ayat tersebut diatas
adalah Nabi Muhammad SAW, dan yang dimaksud dengan “Rahmat Allah” adalah
Sayyidina ‘Ali.
Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali bin Yusuf bin Hayyan dalam tafsir beliau yang bernama Tafsir Al-Bahar Al-Muhith
menjelaskan ada 15 penafsiran tentang makna kalimat tersebut,
diantaranya adalah: “Telah berkata Ibnu ‘Abbas pada hadits yang
diriwayatkan oleh Adh-Dhihak bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah”
adalah ilmu, dan yang dimaksud dengan “rahmat Allah” adalah Nabi
Muhammad SAW.
Ibnu Jauziy dalam tafsir beliau Zaada Al-Maisir
menjelaskan ada 8 penafsiran tentang makna kalimat tersebut,
diantaranya adalah : bahwa pendapat yang ketiga bahwa yang dimaksud
dengan “karunia Allah” adalah ilmu, dan yang dimaksud dengan “rahmat
Allah” adalah Nabi Muhammad SAW atas dasar riwayah Adh-Dhihak dari Ibnu
‘Abbas.
Imam Tusturiy dalam tafsir beliau Tafsir Tustury memastikan
hanya satu penafsiran yaitu : bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah
adalah Tauhid, dan yang dimaksud dengan “rahmat Allah” adalah Nabi
Muhammad SAW.
Al-Qadhi
Abu Muhammad dalam tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz karya Ibnu ‘Athiyyah
Al-Maharibiy berkata : Tiada jalan bagiku untuk menentukan satu
penafsiran dari sejumlah penafsiran yang ada kecuali bahwa sesuatu itu
bersandar kepada Nabi SAW.
Namun
Abu Syaikh dari Ibnu ‘Abbas dalam menentukan bahwa yang dimaksud dengan
“Karunia Allah” pada ayat tersebut diatas adalah Ilmu, dan yang
dimaksud dengan “Rahmat Allah” adalah Nabi Muhammad SAW beliau berdalil
dengan surat Al-Anbiya : 107 yang artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Sebagaimana dijelaskan oleh ‘Abdurrahman bin Abubakar Jalaluddin As-Suyuthiy dalam tafsir beliau Ad-durrul Mantsur Fi Takwil Bil Ma’tsur.
Walaupun
hadits-hadits dan pendapat-pendapat diatas mungkin bisa dianggap lemah
dengan berbagai pandangan, tinjauan, kajian dan alasan, namun ada satu
hal yang tidak bisa ditolak oleh umat yang patuh kepada Al-Quran bahwa
Nabi Muhammad adalah rahmat, bahkan rahmat bagi semesta alam. Kenapa hal
ini tidak bisa ditolak karena ini termaktub jelas dalam Al-Quran surat
Al-Anbiya : 107 yang artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Jika
kata “Rahmat” yang ada dalam ayat diatas bisa ditafsirkan dengan segala
bentuk rahmat sebagaimana yang ada dalam seluruh tafsir maka adakah
larangan jika kata “Rahmat” itu ditafsirkan dengan Nabi Muhammad SAW?
Bukankah beliau adalah rahmat bagi semesta alam?
Nabi
Muhammad SAW adalah Rahmat bagi semesta alam sebagaimana tersebut dalam
QS. Al-Anbiya : 107 maka bergembira dengan kehadiran dan kelahiran
Beliau adalah diperintahkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya “HENDAKLAH DENGAN ITU MEREKA BERGEMBIRA” sebagaimana pada QS. Yunus : 58.
Lalu bagaimana cara bergembira terhadap kehadiran dan kelahiran Nabi Muhammad SAW?
Apabila
tidak datang dalil khusus yang menguraikan cara bergembira tersebut
maka berpulanglah caranya kepada masing-masing individu, waktu dan
tempat. Boleh saja dengan membaca Al-Quran, mengerjakan shalat sunat,
berpuasa, bersedekah, membaca shalawat, santuni anak yatim, beri makan
fakir miskin, sambung tali silaturrahmi, berzikir, bercerita tentang
sejarah yang berhubungan dengan agama dan pribadi Nabi dan segala macam
kebaikan lainnya yang masih terpayungi oleh payung hukum dan dalil
agama.
Dalam
Kitab I’anah ath-Thalibin Karya ‘Allamah Abi Bakar bin Sayyid Muhammad
Syatha ad-Dimyaathiy yang dimasyhurkan dengan nama Sayyid Bakri. Jilid
III, Hal. 413-415 (Kitab Maktabah Syamilah), disebutkan: “Didapatkan
dalam Fatawi al-Hafidl as-Suyuthiy pada BAB WALIMAH, ditanyakan kepada
Beliau daripada amal Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal, apa hukumnya
dalam tinjauan syara’?. Apakah perbuatan itu dipuji atau dicela?. Apakah
diberikan pahala kepada orang yang melakukannya atau tidak?. Beliau
berkata: “Jawaban yang ada pada saya adalah bahwa sungguh dasar amal
perayaan Maulid adalah berhimpunnya manusia, membaca apa yang mudah dari
Al-Quran, membaca riwayat hadits yang datang pada permulaan pekerjaan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, membaca riwayat tentang tanda-tanda
yang terjadi pada kelahiran Beliau, lalu menuju tempat hidangan yang
memakan oleh mereka akan makanan, dan tidak lebih dari yang demikian
itu, maka itu adalah sebagian dari bid’ah yang bagus (hasanah) karena
padanya bagian dari membesarkan derajat Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan menampakkan rasa senang dan gembira dengan kelahiran Nabi
yang mulia. Ash-Shakhawi berkata: amal maulid Nabi sudah terjadi pada
kurun yang ketiga. Ibnu Jauziy berkata: sebagian dari keistimewaan
merayakan hari maulid Nabi adalah diberikan oleh Allah keamanan dalam
negeri pada tahun tersebut dan digembirakan dengan tercapai cita dan
harapan untuk masa yang akan datang. Yang pertama melakukannya (menurut
Ibnu Jauziy) adalah Raja Mudhaffar.
Dan kenapa bergembiranya hanya pada bulan-bulan tertentu?
Karena
Abu Qatadah Al-Anshari meriwayatkan bahwa kepada Nabi SAW. pernah
ditanya mengenai puasa yang beliau lakukan pada hari Senin. Baginda
menjawab, “Hari itu adalah hari saya dilahirkan dan hari saya menerima
wahyu.”
Berdasarkan
kepada hadits tersebut diatas bahwa Nabi SAW menaruh perhatian khusus
pada hari kelahiran beliau dan bersyukur kepada Allah SWT dengan
berpuasa pada hari itu yang merupakan satu bentuk ibadah. Sebagaimana
Nabi SAW. telah memberi perhatian khusus pada hari tersebut dengan
berpuasa, maka ibadah dalam bentuk apa saja yang masih sesuai dengan
nash agama untuk memberi perhatian khusus atas hari tersebut dapat pula
dibenarkan. Meskipun bentuk ibadahnya berbeda, tetapi esensinya tetap
sama yaitu bergembira dengan kelahiran baginda. Oleh karena itu,
berpuasa, memberi makan fakir miskin, berkumpul untuk melantunkan pujian
kepada Nabi saw. atau berkumpul untuk mengingat perilaku dan budi
pekerti baiknya, semuanya dapat dipandang sebagai cara menaruh perhatian
khusus pada hari tersebut.
Demikian, dan marilah kita kembali kepada satu semboyan yang termaktub dalam Al-Quran “AL-HAQQU AHAQQU AN YUTTABA’ (QS. YUNUS : 35)”. Semoga dapat berguna bagi kita semua, amin ya rabbal ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar