Latar Belakang (Menurut Teori, Data, Penelitian dan Sejumlah
Ahli Sejarah)
Teori
tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih banyak
diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun non Muslim.
Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada teori awal mula
masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di Nusantara, para ahli
sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat
(ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab).
Bukan maksud tulisan ini untuk membahas
teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis
lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati
kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya
adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya
pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri,
Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki
banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran
kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus
min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di
Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang
seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi
mewahnya.
Sejak
dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa
berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga
disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah
dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan
Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak
500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung
Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut
Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang
melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah,
Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.lv
Akan
tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di
Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut
(Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia
dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina
dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal
Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman
Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan
pantai timur Afrika.lvi
Ramainya
lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan
yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan
yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah
menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang
diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di
beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit
atau kota perdagangan.
Maka
berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa Aceh
yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten
Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba
pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga
tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya
perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat
topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan
sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Shahrianshah Salman Al-Farisi Pendiri
Kerajaan Jeumpa Aceh (777 M)
|
Salman Al-Parsi
|
Kerajaan
Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh,
yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar
keberadaannya pada sekitar abad ke 777 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan
mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng
Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng
yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa
itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga
merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari
Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya
dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa
tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintoe
Rayeuk” (Pintu Besar).
Menurut
silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei
Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh
seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yang bernama Syahriansyah Salman
atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki
beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito
dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam
Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi.
Menurut
penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan
keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib,
Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri
Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir
yang ditaklukkan Islam.
Sampai
saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas,
apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau keturunan
raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan
Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Aceh,
Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra.
Dikarenakan :
Beliau
memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada
moyangnya. Beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far
Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini.
anak
beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada
yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan
kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat
pukulan di Arab dan Parsia.
Itulah
sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab
Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.
Yang
perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman Al-Parsi memilih kota kecil di wilayah
Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti
Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi
persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan, Beliau
diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di
sana, Beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa
(meurah), Keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus,
Lamuri dan lainnya dan Menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan
terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat Pangeran
Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah bergejolak
akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan
Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para
pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena
memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang
mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia.
Kemungkinan
Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran
itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu menyolok. Itulah
sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah
Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.
Di
bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat
menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan
besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman
sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti
Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran
Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu
pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara
pulau Sumatra.
Jeumpa
sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan
perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera
atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar
Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang
artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang
didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan
yang nyata.
Untuk
mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya
menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan
Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat
anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya
berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya
Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804.
Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota
pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang
dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang.
Syahr
Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan
tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad
saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan
pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan
Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam
Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan
Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan
peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah
tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota
pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. Namun
demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah
kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui
bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan
Ampel.
Berarti
Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel
adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin kakek
saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat dibuat sebuah
kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh
jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama dan pendakwah
Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah
berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara
seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an),
Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran
besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan
besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir
Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa
(Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di
Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal
dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang
Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan
Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.
Mereka
adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan
dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan
sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan.
Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan
Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya
dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai
Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah
yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah
ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa Aceh
yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah
menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan mengalahkan
sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan
menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam
Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa
di Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah
mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan
lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis
hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah
Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang,
maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat
dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan
daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun
secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat
dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah
keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama
Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam
silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam
Jeumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar