Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
dan sahabatnya.
Seringkali masalah jumlah raka’at
shalat tarawih dipermasalahkan di tengah-tengah masyarakat. Sampai-sampai
jumlah raka’at ini jadi tolak ukur, apakah si fulan termasuk golongannya
ataukah tidak. Kami pernah mengangkat pembahasan jumlah raka’at shalat tarawih,
namun masih ada saja yang sering mendebat mempertanyakan pendapat pilihan kami.
Sekarang kami akan membahas dari sisi dalil pendukung shalat tarawih 23 raka’at. Hal ini kami kemukakan dengan tujuan supaya kaum muslimin
sadar bahwa beda pendapat yang terjadi sebenarnya tidak perlu sampai meruntuhkan
kesatuan kaum muslimin. Dalil pendukung yang akan kami kemukakan menunjukkan
bahwa shalat tarawih 23 raka’at sama sekali bukanlah bid’ah, perkara yang
dibuat-buat. Kami akan buktikan dari sisi dalil dan beberapa alasan. Semoga
amalan ini ikhlas karena mengharap wajah-Nya.
Asal ‘Umar Mulai
Mengumpulkan Para Jama’ah dalam Shalat Tarawih
Dalam Shahih Al Bukhari pada Bab
“Keutamaan Qiyam Ramadhan” disebutkan beberapa riwayat sebagai berikut.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
– رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – قَالَ « مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ » . قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ
– صلى الله عليه وسلم – وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ، ثُمَّ كَانَ الأَمْرُ عَلَى
ذَلِكَ فِى خِلاَفَةِ أَبِى بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ – رضى الله
عنهما -
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari
Humaid bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman kepada
Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosanya
yang lalu“. Ibnu Syihab berkata; Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, namun orang-orang terus
melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara bersama, jamaah),
keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan
awal-awal kekhilafahan ‘Umar bin Al Khaththob radhiyallahu ‘anhu. (HR.
Bukhari no. 2009)
وَعَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِىِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ ، إِلَى الْمَسْجِدِ ،
فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ،
وَيُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّى
أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ . ثُمَّ
عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً
أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ نِعْمَ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى
يَقُومُونَ . يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin
Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata, “Aku keluar
bersama ‘Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan
menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara
terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti
oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata, “Aku
berpikir bagaimana seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin
satu orang imam, itu lebih baik“. Kemudian Umar memantapkan keinginannya
itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin
Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata
orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar
berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur
terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam[1].” Yang beliau maksudkan untuk mendirikan
shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada
awal malam. (HR. Bukhari no. 2010)
Adapun mengenai jumlah raka’at
shalat tarawih yang dilakukan di zaman ‘Umar tidak disebutkan secara tegas
dalam riwayat di atas[2], dan ada perbedaan dalam beberapa riwayat
yang nanti akan kami jelaskan selanjutnya.
Shalat Tarawih 11 Raka’at
di Masa ‘Umar
Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam
Malik riwayat sebagai berikut.
وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ
بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا
نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ
إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ.
Telah menceritakan kepadaku dari
Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin
Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami
orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam
membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat
lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR.
Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115).
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa riwayat ini shahih.[3]
Shalat Tarawih 23 Raka’at
di Masa ‘Umar
Dalam Musnad ‘Ali bin Al Ja’d
terdapat riwayat sebagai berikut.
حدثنا علي أنا بن أبي ذئب عن يزيد بن خصيفة عن السائب بن يزيد
قال : كانوا يقومون على عهد عمر في شهر رمضان بعشرين ركعة وإن كانوا ليقرءون
بالمئين من القرآن
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali,
bahwa Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid bin Khoshifah dari As Saib bin Yazid, ia
berkata, “Mereka melaksanakan qiyam lail di masa ‘Umar di bulan Ramadhan sebanyak
20 raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat Al Qur’an.” (HR. ‘Ali
bin Al Ja’d dalam musnadnya, 1/413)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa riwayat ini shahih.[4]
Sebagian ulama ada yang menyatakan
bahwa riwayat di atas terdapat ‘illah yaitu karena terdapat Yazid bin
Khoshifah. Dalam riwayat Ahmad, beliau menyatakan bahwa Yazid itu munkarul
hadits. Namun pernyataan ini tertolak dengan beberapa alasan:
- Imam Ahmad sendiri menyatakan Yazid itu tsiqoh dalam riwayat lain.
- Ulama pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Yazid itu tsiqoh. Ulama yang berpendapat seperti itu adalah Ahmad, Abu Hatim dan An Nasai. Begitu pula yang menyatakan tsiqoh adalah Yahya bin Ma’in dan Ibnu Sa’ad. Al Hafizh Ibnu Hajar pun menyatakan tsiqoh dalam At Taqrib.
- Perlu diketahui bahwa Yazid bin Khoshifah adalah perowi yang dipakai oleh Al Jama’ah (banyak periwayat hadits).
- Imam Ahmad rahimahullah dan sebagian ulama di banyak keadaan kadang menggunakan istilah “munkar” untuk riwayat yang bersendirian dan bukan dimaksudkan untuk dho’ifnya hadits.[5]
Hadits di atas juga memiliki jalur
yang sama dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (2/496).
Riwayat riwayat di atas memiliki
beberapa penguat di antaranya:
Pertama: Riwayat ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/260).
عن داود بن قيس وغيره عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد أن
عمر جمع الناس في رمضان على أبي بن كعب وعلى تميم الداري على إحدى وعشرين ركعة
يقرؤون بالمئين وينصرفون عند فروع الفجر
Dari Daud bin Qois dan selainnya,
dari Muhammad bin Yusuf, dari As Saib bin Yazid, ia berkata bahwa ‘Umar pernah
mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari yang
menjadi imam dengan mengerjakan shalat 21 raka’at. Ketika itu mereka membaca
200 ayat. Shalat tersebut baru bubar ketika menjelang fajar.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih.[6]
Kedua: Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya (2/163).
حدثنا وكيع عن مالك بن أنس عن يحيى بن سعيد أن عمر بن الخطاب
أمر رجلا يصلي بهم عشرين ركعة
Telah menceritakan kepada kami
Waki’, dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id, ia berkata, “’Umar bin Al
Khottob pernah memerintah seseorang shalat dengan mereka sebanyak 20 raka’at.”
Yahya bin Sa’id adalah seorang
tabi’in. Sehingga riwayat ini termasuk mursal (artinya tabi’in berkata langsung
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebut sahabat).[7]
Setelah membawakan beberapa riwayat
penguat (yang sengaja penulis menyebutkan beberapa saja), Syaikh Musthofa Al
‘Adawi hafizhohullah lantas mengatakan, “Riwayat penguat ini semakin
menguatkan riwayat shalat tarawih 20 raka’at.”[8]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
perbuatan sahabat di zaman ‘Umar bin Khottob bervariasi, kadang mereka
melaksanakan 11 raka’at, kadang pula –berdasarkan riwayat yang shahih-
melaksanakan 23 raka’at. Lalu bagaimana menyikapi riwayat semacam ini?
Jawabnya, tidak ada masalah dalam menyikapi dua riwayat tersebut. Kita bisa
katakan bahwa kadangkala mereka melaksanakan 11 raka’at, dan kadangkala mereka
melaksanakan 23 raka’at dilihat dari kondisi mereka masing-masing.
Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro mengatakan,
وَيُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ ، فَإِنَّهُمْ
كَانُوا يَقُومُونَ بِإِحْدَى عَشْرَةَ ، ثُمَّ كَانُوا يَقُومُونَ بِعِشْرِينَ
وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ
“Dan mungkin saja kita menggabungkan
dua riwayat (yang membicarakan 11 raka’at dan 23 raka’at, -pen), kita katakan
bahwa dulu para sahabat terkadang melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at.
Di kesempatan lain, mereka lakukan 20 raka’at ditambah witir 3 raka’at.”[9]
Begitu pula Ibnu Hajar Al Asqolani
juga menjelaskan hal yang serupa. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْجَمْعُ بَيْن هَذِهِ الرِّوَايَات مُمْكِنٌ بِاخْتِلَافِ
الْأَحْوَال ، وَيَحْتَمِل أَنَّ ذَلِكَ الِاخْتِلَافَ بِحَسَبِ تَطْوِيلِ
الْقِرَاءَة وَتَخْفِيفِهَا فَحَيْثُ يُطِيلُ الْقِرَاءَة تَقِلُّ الرَّكَعَات
وَبِالْعَكْسِ وَبِذَلِكَ جَزَمَ الدَّاوُدِيُّ وَغَيْره
“Kompromi antara riwayat (yang
menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat memungkinkan dengan kita katakan bahwa
mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa
memahami bahwa perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan kadangkala
bacaan tiap raka’atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut
dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit. Demikian sebaliknya.
Inilah yang ditegaskan oleh Ad Dawudi dan ulama lainnya.”[10]
Beberapa Atsar Penguat
Pertama: Atsar Atho’ (seorang tabi’in) yang dikeluarkan dalam
Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا بن نمير عن عبد الملك عن عطاء قال أدركت الناس وهم يصلون
ثلاثة وعشرين ركعة بالوتر
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Numair, dari ‘Abdul Malik, dari ‘Atho’, ia berkata, “Aku pernah menemukan
manusia ketika itu melaksanakan shalat malam 23 raka’at dan sudah termasuk
witir di dalamnya.”
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa riwayat ini shahih.[11]
Kedua: Atsar dari Ibnu Abi Mulaikah yang dikeluarkan dalam
Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا وكيع عن نافع بن عمر قال كان بن أبي مليكة يصلي بنا في
رمضان عشرين ركعة
Telah menceritakan kepada kami Waki’
dari Nafi’ bin ‘Umar, ia berkata, “Ibnu Abi Mulaikah shalat bersama kami di
bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at”.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa riwayat ini shahih.[12]
Ketiga: Atsar dari ‘Ali bin Robi’ah yang dikeluarkan dalam
Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا الفضل بن دكين عن سعيد بن عبيد أن علي بن ربيعة كان يصلي
بهم في رمضان خمس ترويحات ويوتر بثلاث
Telah menceritakan kepada kami Al
Fadhl bin Dakin, dari Sa’id bin ‘Ubaid, ia berkata bahwa ‘Ali bi Robi’ah pernah
shalat bersama mereka di Ramadhan sebanyak 5 kali duduk istirahat (artinya: 5 x
4 = 20 raka’at), kemudian beliau berwitir dengan 3 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa riwayat ini shahih.[13]
Keempat: Atsar dari ‘Abdurrahman bin Al Aswad yang dikeluarkan
dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا حفص عن الحسن بن عبيد الله قال كان عبد الرحمن بن الأسود
يصلي بنا في رمضان أربعين ركعة ويوتر بسبع
Telah menceritakan kepada kami
Hafsh, dari Al Hasan bin ‘Ubaidillah, ia berkata bahwa dulu ‘Abdurrahman bin Al
Aswad shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 40 raka’at, lalu beliau
berwitir dengan 7 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa riwayat ini shahih.[14]
Kelima: Atsar tentang shalat tarawih di zaman ‘Umar bin ‘Abdil
‘Aziz yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا بن مهدي عن داود بن قيس قال أدركت الناس بالمدينة في زمن
عمر بن عبد العزيز وأبان بن عثمان يصلون ستةة وثلاثين ركعة ويوترون بثلاث
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Mahdi, dari Daud bin Qois, ia berkata, “Aku mendapati orang-orang di Madinah di
zaman ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan Aban bin ‘Utsman melaksanakan shalat malam
sebanyak 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan
bahwa riwayat ini shahih.[15]
Perkataan Para Ulama
Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al
Asqolani,
وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ ” رَأَيْت
النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ
وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ
Dari Az Za’faroniy, dari Imam Asy
Syafi’i, beliau berkata, “Aku melihat manusia di Madinah melaksanakan shalat
malam sebanyak 39 raka’at dan di Makkah sebanyak 23 raka’at. Dan sama sekali
hal ini tidak ada kesempitan (artinya: boleh saja melakukan seperti itu,
-pen).” [16]
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,
وليس في عدد الركعات من صلاة الليل حد محدود عند أحد من أهل
العلم لا يتعدى وإنما الصلاة خير موضوع وفعل بر وقربة فمن شاء استكثر ومن شاء
استقل
“Sesungguhnya shalat malam tidak
memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah
(yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh
mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[17]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
– لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً
لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ
كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ
يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ
أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ
كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ
بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ
وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ
فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ
فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ
رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا . كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ
كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ
الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ
وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ
وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ
مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ
فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Shalat malam di bulan Ramadhan
tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13
raka’at. Akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang.
Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam,
dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak
tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan
diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi
makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.
Sebagian salaf pun ada yang
melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at, lalu mereka berwitir dengan 3
raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan
berwitir dengan 3 raka’at.
Semua jumlah raka’at di atas boleh
dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam
cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat
malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang
dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam
dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini
dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan
dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak
mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam
dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak
dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan
pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat
puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau
lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan
para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan
ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang
menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan
tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih
atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[18]
Al Kasaani mengatakan, “’Umar
mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20
raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini
menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan,
“Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan
tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat
tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah
20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan
hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat
tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga
hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini
amatlah banyak.”[19]
Dalil Pendukung Lain,
Shalat Malam Tidak Ada Batasan Raka’atnya
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai
shalat malam, beliau menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ
أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at-dua
raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka
kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan
witir.”[20] Padahal ini dalam konteks pertanyaan.
Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam akan menjelaskannya.
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan
cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[21]
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ
اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah
melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu
derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[22] Dalil-dalil ini dengan sangat jelas
menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak
raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.
Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari
tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana
kaedah yang diterapkan dalam ilmu
ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan
tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan
tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau
tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan
tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa yang
mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu
yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh
ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia
telah keliru.”[23]
Alasan ketiga, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat
malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau
akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak
ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat
mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam
ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan
dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan
shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika
melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar
shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan
malam Ramadhan,
namun dengan bacaan yang ringan.
Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at
dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu
dua jam atau tiga jam?
Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu
‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di
antara kedua cara ini yang lebih baik?
Jawabannya, tentu yang kedua yaitu
yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak. Alasannya,
karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat
malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali
tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan pada sebagian dari malam,
maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang
panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
Oleh karena itu, para ulama ada yang
melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang
panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula
yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan
adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan
mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).
Sampai-sampai sebagian ulama
memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan
membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at
yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat,
hendaklah ia menambah raka’atnya.”
Mengapa ulama ini bisa mengatakan
demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika
shalat malam.[24]
Yang Jadi Masalah
Setelah pemaparan kami di atas,
sebenarnya yang jadi masalah bukanlah kuantitas shalat tarawih. Yang lebih
dituntunkan bagi kita adalah mendekati kualitas Nabi shallallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam shalat tarawih atau shalat malam. Sehingga tidak tepat jika
melaksanakan 11 raka’at namun kualitas shalatnya jauh sekali dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Begitu pula tidak tepat jika melaksanakan shalat 23 raka’at
namun kualitasnya pun amat jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena memang pilihan para sahabat di masa Umar dan ini juga dipilih oleh
kebanyakan ulama adalah ingin mendekati kualitas shalat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, bukan hanya kejar kuantitas. Ini yang benar-benar harus kita
pahami.
Sehingga tidak tepat jika shalat
tarawih atau shalat malam yang dilakukan begitu cepat, secepat kilat, seperti
ayam “matuk”. Ini kan sama saja tidak ada thuma’ninah. Padahal thuma’ninah
adalah bagian dari rukun shalat. Artinya jika tidak ada thuma’ninah, shalatnya
hanya sia-sia. Namun demikianlah yang sering terjadi pada shalat tarawih 23
raka’at di tempat kita. Inilah yang jadi masalah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang
lama berdirinya.”[25]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ
يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[26] Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan
hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar
khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron)
dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas
(terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan
sujud.[27]
Oleh karena itu, tidak tepat jika
shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang
dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan
lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan.
Dari sini, jika memang kita dapati
imam yang shalatnya terlalu cepat, sebaiknya tidak bermakmum di belakangnya.
Carilah jama’ah yang lebih thuma’ninah.
Penutup
Demikian sajian kami tentang shalat
tarawih bahwa sebenarnya tidak ada masalah dalam kuantitas raka’at, baik 11
atau 23 raka’at tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah sebagaimana yang
kami sebutkan di atas. Sehingga tidaklah tepat jika shalat tarawih 23 raka’at
dikatakan bid’ah. Lihat saja sejak masa sahabat dan tabi’ain mereka pun
melaksanakan shalat malam lebih dari 11 raka’at.
Dari sini juga tidaklah tepat jika
seseorang bubar terlebih dahulu pada shalat imam padahal masih 8 raka’at karena
ia berkeyakinan bahwa shalat malam hanya 11 raka’at sehingga ia tidak mau
mengikuti shalat imam yang 23 raka’at. Jika memang shalat imam itu thuma’ninah,
maka bermakmum di belakangnya adalah pilihan yang tepat. Jika seseorang bubar
dulu sebelum imam selesai, sungguh ia telah kehilangan pahala yang teramat
besar sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ
لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam
sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[28]
Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun
seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam, meskipun itu 23 raka’at. Itulah
yang lebih tepat selama shalat 23 raka’at itu thuma’ninah. Jika shalatnya
terlalu cepat, sebaiknya cari jama’ah yang lebih thuma’ninah dalam kondisi
seperti itu.
Wallahu ‘alam bish showab. Semoga Allah menjadikan amalan ini ikhlas karena-Nya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di Panggang-GK, 1 Ramadhan 1431 H (11/8/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Hal ini merupakan dalil tegas
bahwa shalat di akhir malam lebih afhdol daripada di awal malam. Namun hal ini
bukan berarti memaksudkan bahwa shalat sendirian lebih afdhol dari shalat secara berjama’ah.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani,
Darul Ma’rifah, 1379, 4/253)
[2]
Fathul Bari, 4/253.
[3]
‘Adadu Raka’at Qiyamil Lail, Musthofa Al ‘Adawi, Daar Majid ‘Asiri, hal. 36.
[4]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 36.
[5]
Lihat catatan kaki Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 37.
[6]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 39.
[7]
Idem.
[8]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 40.
[9]
Sunan Al Baihaqi Al Kubro, Al Baihaqi, Maktabah Darul Baaz, 2/496.
[10]
Fathul Bari, 4/253.
[11]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 46.
[12]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 47.
[13]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 47.
[14]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 48.
[15]
Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 48.
[16]
Fathul Bari, 4/253.
[17]
At Tamhid, 21/70.
[18]
Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 22/272.
[19]
Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9636
[20]
HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar.
[21]
HR. Muslim no. 489
[22]
HR. Muslim no. 488
[23]
Majmu’ Al Fatawa, 22/272.
[24]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
1/414-416 dan At Tarsyid, hal. 146-149.
[25]
HR. Muslim no. 756
[26]
HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.
[27]
Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3.
[28]
HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan
Tirmidzi. Hadits ini shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar